Mangku
Mencari Doa di Daratan Jauh
“Kematian
terhormat, ditanah seberang”
Martin Aleida salah satu penulis yang
berhasil menciptakan cerpen, karyanya yang berjudul “Mangku Mencari Doa di
Daratan Jauh”, yang telah mampu menghentak dan membius para pembaca dalam
membaca karyanya ini. Cerpen ini mampu memberi gambaran betapa jahanamnya
manusia dalam mencapai kekayaan dan kekuasaan duniawi. Penyakit manusia yang
bernama “kekejian”. Karyanya ini mampu mengimplementasikan, bagaimana kehidupan
manusia yang berdasarkan lobha angkara dan manusia yang berpegang teguh pada
kebenaran dan dharma.
Mangku salah satu tokoh yang berpegang
teguh pada kebenaran, Adalah salah satu tokoh yang ditonjolkan dalam cerpen
ini. Penulis menggambarkannya sebagai orang yang memegang teguh prinsip, yaitu
tak sudi mati ditanah Bali, tanah tumpah darahnya sendiri. Ia hanya ingin mati
baik-baik dengan iringan doa. Bukan seperti kematian ayahnya yang mati diatas
manusia keji yang membunuh ayahnya hanya karena kekuasaan tanah, dengan hantaman
linggis tanpa ampun, tanpa belas kasih, dan tanpa iringan doa. Manusia yang
dirasuki roh-roh leak, yang telah merampas tanah Balinya yang dicintainya.
Kedua sahabatnya yaitu, kera dan anjing yang
selalu setia menemani dalam pengembaraannya menuju lampung. tempat nan jauh
yang di mana orang Bali membangun hidup baru tanpa meninggalkan adat dan
kebiasaan. Dia ingin mati di sana diiringi doa sederhana oleh orang Bali
sejati. Penulis menggambarkan bahwa kera dan anjing Kintamani milik Mangku,
bagaikan malaikat yang selalu menjadi pengiring dan penghiburnya setelah
kematian ayahnya yang pergi ke Khayangan. Dalam pengembaraannya ia bertemu para
penguasa yang meminta surat jalan, namun Mangku tak punya. Dari perjalanan
panjangnya inilah dia tahu bahwa kesalahan yang dibuat-buat penguasa termasuk
polisi, tentara, dan hansip bisa ditebus dengan uang. Dalam cerpen ini penulis
mampu melukiskan betapa, sifat manusia yang lobha akan kekayaan duniawi demi
kepentingan semata, tanpa menjalankan tugas yang berdasarkan dharma.
Namun anjing Kintamani, yang selalu
menjaganya mati ditangan penjahat yang menganggap anjingnya adalah anjing
rabies yang patut dibasmi. Jakarta, kota sebesar ini apakah hanya penuh dengan
penjahat berkedok malaikat?? Pikir Mangku dalam kesedihannya. Penulis mampu
mengisyaratkan kepada pembaca bahwa Kekejian Manusia telah melanglang buana di
negri ini, yang sangat riil dalam kehidupan nyata. Malamnya sahabatnya yaitu
kera, akhirnya mati karena segerombolan anjing yang menyerbu keranya itu,
rupanya anjing rabies. Sesampai di Sumatera jasad keranya dikubur dalam tanah,
juga air matanya. Persis sebagai mana kera ini dikuburkan, maka seperti itulah
kematian yang ia ingin. Mati baik-baik dengan iringin doa.
Dalam kacamata pembaca, cerpen ini
sangat menarik. Gaya bahasanya yang santai dan personifikasi membuat pembaca
tidak bosan untuk membacanya sampai habis. Penulis berani menggambarkan dengan
kehidupan manusia saat ini, betapa kekejaman, kekejian dan lobha angkara telah
menutupi hati nurani manusia. Namun penulis, dalam menyampaikan isi cerpen ini
terlalu tragis, terkesan hanya kejahatan yang mampu bertahan ditengah
kebiadaban manusia.
Dalam cerpen ini penulis mampu
menampakkan dengan jelas sifat hitam putih manusia dari penggambaran tokohnya. Keadaannya
sangat logis dan relevan dalam kehidupan nyata. Banyak terdapat makna tersirat yang
disampaikan penulis kepada pembaca. Jika kekejian dan lobha angkara dibiarkan
menari-nari di atas hati nurani manusia, bagamaina penerus negri ini? Apakah
negri ini akan menjadi “lautan kekejian”?
Eka_VierneufA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar