Diluar
sana, banyak orang yang berusaha untuk memiliki kebudayaan kita, bahkan
‘nyaris’ merampas identitas kita. Sementara
kita disini terlena dengan apa yang kita miliki, bertindak seolah-olah apa
yang kita punya ini tak akan pernah lepas dari genggaman kita. Bagaimana
mungkin orang bisa mengenal kita, jika
identitas yang kita miliki mulai ‘luntur’?
Di zaman
globalisasi saat ini semua seakan-akan diseret masuk kedalamnya, tak peduli
asal-usulnya, semua langsung masuk begitu saja. Sama halnya seperti Budaya Bali
saat ini, siapa yang menyangka apa yang sudah dipertahankan nenek moyang kita
dulu, dengan mudahnya kini diabaikan? Sebagai generasi penerus sudah sebaiknya
kita mempertahankan apa yang kita miliki, tapi dalam kehidupan nyatanya malah
generasi mudalah yang mengabaikan itu semua. Seperti kata pepatah, “Kakek yang
membangun, Anak yang meneruskan, dan Cucu yang merusak”, sepertinya pepatah itu
cocok untuk kita saat ini, remaja Bali.
Sudah jarang
dijumpai truna truni Bali yang masih memegang teguh tata karma, kebiasaan sopan
santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia di dalam
kelompoknya, pemandangan yang saat ini kita jumpai adalah truna truni Bali yang
urak-urakan, tidak memiliki sopan santun, terjerumus dalam lingkaran pergaulan
bebas yang memuakkan. Bisa dihitung dengan jari Truna Truni Bali yang terampil,
yang masih memiliki jiwa seni yang bisa menjadi aset untuk Bali kedepannya.
Sisanya hanya bisa berfoya-foya dengan fasilitas yang diberikan dunia. Jika ada
upacara Pawiwahan/pernikahan atau upacara-upacara Manusa Yadnya lainnya, jarang
sekali kita mendapati Truna Truni Bali yang nguopin
atau bergotong royong membantu para tetua kita mempersiapkan upacara
tersebut, jadilah semuanya serba instan, manja, dan tak ada sama sekali rasa
ingin tau. Ngayah atau ngayang Upacara Agama yang seharusnya
menjadi tugas Truna Truni Bali, diambil alih oleh para tetua yang seharusnya
hanya menjadi guru pembimbing kita. Lalu, apa saja yang dilakukan Remaja Bali
kita? Dan yang paling parah dari semua itu, Truna Truni Bali saat ini sudah
melupakan adat sopan santun dalam pergaulan terhadap orang-orang yang berbeda
sex, mereka seakan manganggap itu “sah-sah saja” dilakukan. Mereka seperti krisis
nilai dan identitas.
Di satu sisi, ini bukanlah kesalahan zaman,
karena kita juga tidak bisa benar-benar menolak globalisasi, tapi disisi lain,
Truna Truni Bali juga mempunyai peran yang kuat dalam hal ini, jika saja mereka
bisa selektif dalam menghadapi globalisasi ini, mungkin tidak akan terjerumus
ke lubang hitam globalisasi, tapi satu hal yang paling penting adalah: Kita tak
bisa memilih lahir pada waktu yang kita tentukan sendiri, karena kita lahir di
tempat dan waktu ketika kita disuguhkan zaman serba canggih seperti sekarang
ini. Sesuatu yang modern memang diperlukan tetapi kita tidak boleh
menghilangkan nilai-nilai yang sudah berakar dalam kepribadian budaya kita,
budaya Bali. Akhir kata, Ngiring
sareng-sareng jaga lan lestariang, ngiring sareng-sareng, laksanayang Tri Hita
Karana….
Diana_VierneufA