Senin, 27 Februari 2012

GENGSI MENYANDANG IDENTITAS SEBAGAI ANAK BALI? APE PIKIR!




                Diluar sana, banyak orang yang berusaha untuk memiliki kebudayaan kita, bahkan ‘nyaris’ merampas identitas kita. Sementara  kita disini terlena dengan apa yang kita miliki, bertindak seolah-olah apa yang kita punya ini tak akan pernah lepas dari genggaman kita. Bagaimana mungkin orang bisa mengenal kita,  jika identitas yang kita miliki mulai ‘luntur’?

Di zaman globalisasi saat ini semua seakan-akan diseret masuk kedalamnya, tak peduli asal-usulnya, semua langsung masuk begitu saja. Sama halnya seperti Budaya Bali saat ini, siapa yang menyangka apa yang sudah dipertahankan nenek moyang kita dulu, dengan mudahnya kini diabaikan? Sebagai generasi penerus sudah sebaiknya kita mempertahankan apa yang kita miliki, tapi dalam kehidupan nyatanya malah generasi mudalah yang mengabaikan itu semua. Seperti kata pepatah, “Kakek yang membangun, Anak yang meneruskan, dan Cucu yang merusak”, sepertinya pepatah itu cocok untuk kita saat ini, remaja Bali. 
Sudah jarang dijumpai truna truni Bali yang masih memegang teguh tata karma, kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia di dalam kelompoknya, pemandangan yang saat ini kita jumpai adalah truna truni Bali yang urak-urakan, tidak memiliki sopan santun, terjerumus dalam lingkaran pergaulan bebas yang memuakkan. Bisa dihitung dengan jari Truna Truni Bali yang terampil, yang masih memiliki jiwa seni yang bisa menjadi aset untuk Bali kedepannya. Sisanya hanya bisa berfoya-foya dengan fasilitas yang diberikan dunia. Jika ada upacara Pawiwahan/pernikahan atau upacara-upacara Manusa Yadnya lainnya, jarang sekali kita mendapati Truna Truni Bali yang nguopin atau bergotong royong membantu para tetua kita mempersiapkan upacara tersebut, jadilah semuanya serba instan, manja, dan tak ada sama sekali rasa ingin tau. Ngayah atau ngayang Upacara Agama yang seharusnya menjadi tugas Truna Truni Bali, diambil alih oleh para tetua yang seharusnya hanya menjadi guru pembimbing kita. Lalu, apa saja yang dilakukan Remaja Bali kita? Dan yang paling parah dari semua itu, Truna Truni Bali saat ini sudah melupakan adat sopan santun dalam pergaulan terhadap orang-orang yang berbeda sex, mereka seakan manganggap itu “sah-sah saja” dilakukan. Mereka seperti krisis nilai dan identitas.
 Di satu sisi, ini bukanlah kesalahan zaman, karena kita juga tidak bisa benar-benar menolak globalisasi, tapi disisi lain, Truna Truni Bali juga mempunyai peran yang kuat dalam hal ini, jika saja mereka bisa selektif dalam menghadapi globalisasi ini, mungkin tidak akan terjerumus ke lubang hitam globalisasi, tapi satu hal yang paling penting adalah: Kita tak bisa memilih lahir pada waktu yang kita tentukan sendiri, karena kita lahir di tempat dan waktu ketika kita disuguhkan zaman serba canggih seperti sekarang ini. Sesuatu yang modern memang diperlukan tetapi kita tidak boleh menghilangkan nilai-nilai yang sudah berakar dalam kepribadian budaya kita, budaya Bali. Akhir kata, Ngiring sareng-sareng jaga lan lestariang, ngiring sareng-sareng, laksanayang Tri Hita Karana….
Diana_VierneufA

Resensi Cerpen "Mangku Mencari Doa Di Daratan Jauh"



Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh
“Kematian terhormat, ditanah seberang”

            Martin Aleida salah satu penulis yang berhasil menciptakan cerpen, karyanya yang berjudul “Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh”, yang telah mampu menghentak dan membius para pembaca dalam membaca karyanya ini. Cerpen ini mampu memberi gambaran betapa jahanamnya manusia dalam mencapai kekayaan dan kekuasaan duniawi. Penyakit manusia yang bernama “kekejian”. Karyanya ini mampu mengimplementasikan, bagaimana kehidupan manusia yang berdasarkan lobha angkara dan manusia yang berpegang teguh pada kebenaran dan dharma.
Mangku salah satu tokoh yang berpegang teguh pada kebenaran, Adalah salah satu tokoh yang ditonjolkan dalam cerpen ini. Penulis menggambarkannya sebagai orang yang memegang teguh prinsip, yaitu tak sudi mati ditanah Bali, tanah tumpah darahnya sendiri. Ia hanya ingin mati baik-baik dengan iringan doa. Bukan seperti kematian ayahnya yang mati diatas manusia keji yang membunuh ayahnya hanya karena kekuasaan tanah, dengan hantaman linggis tanpa ampun, tanpa belas kasih, dan tanpa iringan doa. Manusia yang dirasuki roh-roh leak, yang telah merampas tanah Balinya yang dicintainya.
 Kedua sahabatnya yaitu, kera dan anjing yang selalu setia menemani dalam pengembaraannya menuju lampung. tempat nan jauh yang di mana orang Bali membangun hidup baru tanpa meninggalkan adat dan kebiasaan. Dia ingin mati di sana diiringi doa sederhana oleh orang Bali sejati. Penulis menggambarkan bahwa kera dan anjing Kintamani milik Mangku, bagaikan malaikat yang selalu menjadi pengiring dan penghiburnya setelah kematian ayahnya yang pergi ke Khayangan. Dalam pengembaraannya ia bertemu para penguasa yang meminta surat jalan, namun Mangku tak punya. Dari perjalanan panjangnya inilah dia tahu bahwa kesalahan yang dibuat-buat penguasa termasuk polisi, tentara, dan hansip bisa ditebus dengan uang. Dalam cerpen ini penulis mampu melukiskan betapa, sifat manusia yang lobha akan kekayaan duniawi demi kepentingan semata, tanpa menjalankan tugas yang berdasarkan dharma.
Namun anjing Kintamani, yang selalu menjaganya mati ditangan penjahat yang menganggap anjingnya adalah anjing rabies yang patut dibasmi. Jakarta, kota sebesar ini apakah hanya penuh dengan penjahat berkedok malaikat?? Pikir Mangku dalam kesedihannya. Penulis mampu mengisyaratkan kepada pembaca bahwa Kekejian Manusia telah melanglang buana di negri ini, yang sangat riil dalam kehidupan nyata. Malamnya sahabatnya yaitu kera, akhirnya mati karena segerombolan anjing yang menyerbu keranya itu, rupanya anjing rabies. Sesampai di Sumatera jasad keranya dikubur dalam tanah, juga air matanya. Persis sebagai mana kera ini dikuburkan, maka seperti itulah kematian yang ia ingin. Mati baik-baik dengan iringin doa.
Dalam kacamata pembaca, cerpen ini sangat menarik. Gaya bahasanya yang santai dan personifikasi membuat pembaca tidak bosan untuk membacanya sampai habis. Penulis berani menggambarkan dengan kehidupan manusia saat ini, betapa kekejaman, kekejian dan lobha angkara telah menutupi hati nurani manusia. Namun penulis, dalam menyampaikan isi cerpen ini terlalu tragis, terkesan hanya kejahatan yang mampu bertahan ditengah kebiadaban manusia.
Dalam cerpen ini penulis mampu menampakkan dengan jelas sifat hitam putih manusia dari penggambaran tokohnya. Keadaannya sangat logis dan relevan dalam kehidupan nyata. Banyak terdapat makna tersirat yang disampaikan penulis kepada pembaca. Jika kekejian dan lobha angkara dibiarkan menari-nari di atas hati nurani manusia, bagamaina penerus negri ini? Apakah negri ini akan menjadi “lautan kekejian”?
Eka_VierneufA

Ajengan (Makanan) Ring Bali



Di Indonesia, setiap daerah mempunyai kuliner kebanggaannya tersendiri. Termasuk juga di Bali. Pulau dewata ini bukan hanya dikenal karena obyek wisata dan keeksotikan pulaunya. Namun juga dikenal karena keberagaman kulinernya. Mulai dari jajan-jajanan seperti Pisang Rai, Klepon, Laklak. Minuman seperti es daluman, es kolek, loloh, dll. Bukan hanya jajanan dan minuman. Kuliner di Bali yang tak kalah terkenal dan sering dikatakan ciri khas  Bali adalah “Lawar”.
Berikut ini adalah contoh cara pembuatan beberapa kuliner tersebut :

Pisang Rai
Mungkin diantara kalian, jarang menemukan makanan yang bernama pisang rai. Karena saat ini kita sering disuguhkan dengan makanan cepat saji dengan gengsi yang lebih tinggi. Selain itu, jajanan tradisional juga dianggap kampungan. Dan kalah saing.
 Entah bagaimana anak tua pidan (orang tua Bali dulu) bisa menyebut makanan ini dengan nama Pisang Rai. Makanan yang sering ditemui di pasar-pasar tradisional ini sering dikonsumsi sebagai makanan sampingan, timpalne kopi (temennya kopi). Makanan tradisional ini sering juga dikonsumsi ketika ngayah di Pura.
Bahan & Proses pembuatan :
            Bahan :
1.      500 gr tepung beras,
2.      2 sdm air kapur sirih,
3.      200 gr parutan kelapa,
4.      20 buah pisang raja, potong serong 1 cm,
5.      Daun pisang secukupnya,
6.      Daun pandan secukupnya.
Cara Pembuatan :
1.      Didihkan air dan daun pandan,
2.      Ambil sebagian tepung beras, siram dengan air mendidih tadi hingga matang. Aduk-aduk lalu masukan sisa tepung sedikit demi sedikit hingga bisa dan tambahkan garam dan air kapur sirih,
3.      Celupkan pisang yang sudah dipotong serong 1 cm ke adonan satu per satu. Olesi dengan  daun pisang, kukus hingga matang, dan selanjutnya angkat.
4.      Sajikan dengan kelapa parut yang sudah diberi sedikit garam,
5.      Dan Pisang Rai siap disajikan.

Dyah_VierneufA

Bedah Buku "Wanita Bali Tempo Doeloe"


bedah buku:

WANITA BALI TEMPO DOELOE
(Perspektif Masa Kini)
Penulis : Nyoman Darma Putra
Dalam pandangan masa kini, kehidupan / kiprah wanita Bali tempo doeloe hingga kini masih diperbincangkan, menyangkut persamaan gender dan perjuangan mereka. Bagaimana mereka berbicara menuntut keadilan? Adakah wanita Bali lemah, pendiam, terbelakang dan nrimo? Atau, justru agresif dan pemberani dalam memperjuangkan aspirasi kaumnya untuk mencapai kesetaraan gender……
Semua jawaban terhadap pertanyaan tersebut terungkap dalam buku baru tentang wanita Bali, yang berjudul Wanita Bali Tempo Doeloe, Perspektif Masa Kini karya I Nyoman Darma Putra.
Sesuai dengan bagian judulnya (Perspektif Masa Kini) buku ini ditulis untuk memberikan gambaran dari berbagai aspek tentang eksistensi wanita Bali tempo doeloe sebagai pandangan masa kini.  Di dalamnya ditunjukkan bukti-bukti tertulis yang menyatakan bahwa wanita Bali tempo doeloe, sejak zaman kolonial, sudah aktif berserikat dan memperjuangkan aspirasi kaumnya. Kalau ada yang mengatakan bahwa wanita Bali bersifat pasif, nrimo, atau berpangku tangan saja tanpa memperjuangkan nasibnya atau nasib kaumnya dalam kehidupan sosial, tentulah keliru. Dalam buku ini, penulis tegas mengungkapkan bahwa wanita Bali “tempo doeloe” sangat vokal dan berani menyampaikan aspirasinya. Buktinya? _Mereka berani berserikat membentuk organisasi sosial untuk menolong kaumnya, baik lewat pendidikan maupun gerakan sosial memprotes ketidakadilan gender yang menomorduakan wanita. Yang dimaksud ”tempo doeloe” dalam buku ini adalah era dari zaman kolonial (1930) sampai dengan dekade awal kemerdekaan, (1950-an).
Bagian awal buku berjudul: “Nyatanya Mereka Bicara!”. Jelas yang dimaksud “mereka” pada judul adalah Wanita Bali. Media massa merupakan salah satu arena penting bagi kaum wanita Bali untuk mengangkat masalah-masalah yang mereka hadapi atau menyuarakan keprihatinan yang dihadapi kaumnya. Media masa tersebut antara lain ; Surya kanta, Djatajoe, Bhakti, dan Damai. Buku ini merupakan hasil penggalian maksimal (penyelamatan teks) atas artikel-artikel tentang wanita Bali dari arsip-arsip majalah-majalah tersebut. Dengan menampilkan rangkuman pemikiran dan artikel-artikel wanita Bali tentang isu gender, buku ini bermaksud mencapai 2 hal ; pertama, menyelamatkan tulisan-tulisan yang dibuat wanita Bali tempo doeloe. Kedua, agar apa yang disampaikan wanita Bali dahulu bisa dijadikan bahan renungan atau materti diaog dalam wacana tentang kesetaraan gender yang kian ramai dalam kehidupan sosial dewasa ini. Selain 2 hal itu, buku ini juga menunjukkan bahwa wanita Bali tempo doeloe nyatanya aktif bicara!
Dalam buku ini, terdapat bagian yang diulas dengan judul “Wanita Bali 1930-an : Apa kata Mereka?”. Bagian ini memuat artikel-artikel yang ditulis wanita Bali dahulu yang dicampur dengan rangkuman pemikiran penulis yang memuat bentuk  pergerakan wanita Bali serta permasalah yang terjadi  pada dekade 1930-an. pergerakan / permasalahan tersebut dibagi menjadi beberapa bab. Contoh permasalahan yang terjadi antara lain; 1)Poligami-angka poligami pada dekade 1930-an tinggi sekali. Hal ini disebabkan karena wanita Bali pada masa itu masih terbilang polos dan gampang diolok-olok oleh para suami.  2)Protes Citra telanjang data-citra Bali sebagai pulau wanita telanjang dada atau the island of bare breast membuat aktivis wanita Bali pada masa itu naik pitam. Aspirasi mereka dituangkan melalui tulisan. Mereka melontarkan agar pemerintah dan masyarakat menghentikan pemakaian potret wanita tanpa busana. Berikut adalah kutipan bentuk aspirasi mereka ; “. . . .lihat saja bagaimana orang asing memandang kami. Di sana-sini, di dalam, baik-pun di luar kota tiada kurang terdapat potret-potret bangsa kami. . .yang telanjang bulat, dipertontonkan di muka ramai. Dengan uang setali-dua tali, bangsa kami dipermainkannya, dianggapnya boneka saja untuk menghiburkan hatinya.”
Diluar permasalahan yang terjadi, pergerakan yang dilakukan wanita Bali juga tak kalah hebatnya. Pada masa itu, sudah banyak wanita Bali yang bersekolah dan akhirnya menjadi aktivis. Mereka mendirikan suatu gerakan yang dinamakan Gerakan “Poetri Bali” Sadar dan beberapa gerakan kewanitaan lainnya. Bentuk-bentuk perjuangan mereka antara lain ; berjuang dengan pena,  memberantas buta aksara, memberikan pendidikan, dan mengasosiasikan bahwa wanita Bali tempo doeloe “Bukan Barang Tak Berguna!!!!!!”
Selain dekade 1930-an. Buku ini juga menyajikan bagian yang  mengulas tentang wanita Bali dekade 1950-an, dengan judul : Wanita Bali 1950-an : Apa Kata Mereka?”. Sama dengan bagian sebelumnya, bagian ini juga menyajikan kumpulan beberapa artikel wanita Bali dahulu yang dicampur dengan rangkuman pemikiran penulis yang memuat permasalahan dan pergerakan yang dilakukan wanita Bali pada dekade 1950-an. Permasalahan yang terjadi antara lain ; dampak negatif dari kemajuan yang berpengaruh terhadap wanita Bali. Permasalahan tersebut diurai dalam beberapa artikel. Contohnya : 1)Kalau Wanita Terlalu Maju, 2)Dalam Wacana Pelacuran, 3)Gadis seharga Rp.1000, 4) Antara Mode Pakaian dan Kesusilaan, 5)Jangan Berbuah Sebelum Masa. Melalui artikel-artikel tersebut penulis menuangkan keprihatinannya. Contohnya pada artikel “Jangan Berbuah Sebelum Masa” artinya _mengandung sebelum kawin. masalah ini tidak dapat dipisahkan dengan gejala hubungan seks pranikah. Persamaan dari permasalahan adalah hampir semua penulis artikel (dahulu) menilai pengaruh buruk yang terjadi pada masa itu dikarenakan adanya pengaruh dari luar, seperti aksi-aksi dalam film barat, kebiasaan berdansa dan lainnya.
Lony_VierneufA

"Lirik Lagu Taksu"


LIRIK LAGU TAKSU

Sira sane ngewangiang
Napi sane ngajegang
Bali, maurip seni lan budaya

Sane pinaka meyadnya
Bali kaloktah ke dura negara
Sami seantukan taksu

Reff:
Ngiring sareng-sareng jage lan lestariang
Ngiring sareng-sareng
Laksanayang trihita karana


_Cempaka VierneufA_

"Kisah Cinta Sampik Ingtay"


Satua Sampik Ingtai wantah silih sinunggil satua bali sane kadadosang geguritan. Geguritan puniki sampun lumrah ring desa pakraman, kanggen buatang satua sajeroning ilen-ilen makadi Arja, Drama Gong, miwah sane lianan. Punika mawinan i raga sareng sami patut uning ring daging caritannyane, taler kaaptiang mangda mrasidayang nembangang pupuh sane ngawangun geguritan punika.

Paindikan daging caritannyane jagi katlatarang ngangge gancara miwah tembang pupuh. Ngawit kekawi geguritan puniki inggih punika, Redite Umanis tanggal Nembelas Januari Tahun Siu Sangangatus Limolas.

Kacritayang wenten sengke pangkat Mayor, magenah ring Waciu negari, madue pianak mawasta Ingtai Nyonyah utawi Nyonyah Ingtai sane sampun truni utawi menek bajang. Nyonyah Ingtai memanah jagi masekolah ring Angciu Negari, raris nunas mapamit ring biang ajine. nenten pisan kaicen ring biang ajine, sakewanten Nyonyah Ingati pisereng pisan manahnyane jagi mlajahang raga, nenten prasida biang ajine ngandeg wiadin nglarang pangacep pianaknyane.

Raris Nyonyah Ingtai memargi saha nyineb raga mabusana utawi mapayas sakadi anak lanang. Rauh ring tengahin margi raris mapanggih utawi macunduk sareng anak lanang sane mawasta I Babah Sampik saking Bociu Negari, ujut tatujone pateh ring Nyonyah Ingtai jagi masekolah ke Angciu Negari. Irika sareng kalih mapinta tangan utawi makenalan saha sami-sami nyihnayang raga tur sampun ngiket pasawitran tur masumpah ala ayu bareng mati.

Kacritayang sane mangkin sang kalih sampun rauh ring Angciu Negari raris nyujur genah sekolahe, gelisang ceritane mangkin, sang kalih sampun katerima dados sisya irika. I Babah Sampik lan Nyonyah Ingtai mangkin ngerereh dunungan. Sang kalih nyewa kamar wantah asiki. Ni Ingtai meweh pisan manahnyane santukan ipun mapedewekan istri utawi luh sirep sareng anak lanang makadi I Babah Sampik. I Nyonyah Ingtai makarya wiweka makarya uwar-uwar utawi sengketa, pasirepane kaembadin antuk sabuk utawi kabelatin sabuk mangde nenten keni saling kosod.

Gelisang cerita I Babah Sampik tinut pisan ring daging pasengketane. Daging pasengketane sapa sira ja sane ngalintangin ring sabuk punika pacang kakeninin danda marupa kertas, dawat, teken mangsi pinaka sarana sane kaanggen nyurat duk punika.

Raris Ni Nyonyah sangaja nimpahin I Babah Sampik, punika mawinan ipun kakeninin danda olih I Babah Sampik, Ni Nyonyah Ingtai lascaria manah ipun naur danda ring I Babah Sampik.

Nenten kawilangan sampun suenyanne sang kalih masawitra, sirep sareng-sareng ngalila ulangun sareng-sareng, sinambi sami-sami nyinahang ipian, masekolah sareng-sareng sakadi anake masemeton.

Kasuen-suen Ni Nyonyah Ingtai nyinahang raga, wusan ipun nyineb raga, sane mangkin ipun ngangge pepayasan utawi busana anak istri. Irika raris I Babah Sampik engsek ring manah, pariselsel ring dewek nenten uning ring kasujatian Ni Nyonyah Ingtai.

Ngawit punika raris I Babah Sampik sayan rumaket pasawitrannyane tur ngawiwitin nresnain Ni Nyonyah Ingtai. Risedek sedeng kaulangunan muponing sarining sekar karasmen, durung waneh I Babah Sampik muponin salulut asih, raris rauh utusan Ni Nyonyah Ingtai sane mawasta I Congliwat mangda Ni Nyonyah mantuk ka Waciu Negari. Duk punika Ni Nyonyah durung nagingin tresna asih nyane I Babah Sampik.

Irika raris I Babah Sampik kaliwat bendu ring utusanne Ni Nyonyah tur ngawangun iyeg banget pisan kantos ngawetuang siat. Mresidayang raris Ni Nyonyah munahang kasungkawan I Babah Sampik. Ni Nyonyah jaga mapamit rainane punika, sakewanten I Babah Sampik kaaptiang mangda rauh mamadik Ni Nyonyah ka Waciu Negari rainane malih dasa dina, kewanten Ni Nyonyah ping tiga maosang. Indike punika katampenin malih telung dasa dina olih I Babah Sampik.

Gelisang satua rauh reke I Babah Sampik malih tigang dasa dina ngrereh Ni Nyonyah Ingtai ka Waciu Negari. Nenten raris katerima olih Nyonyah Ingtai tur I Babah Sampik katundung santikan kabaos linyok ring semaya.

Budal raris I Babah Sampik ka Bociu Kuta tur punika pinaka jalaran nyane ipun sinangkaon utawi sungkan kayun tur ngemasin padem utawi seda.

Sakewanten prasida taler I Babah Sampik sareng Ni Nyonyah Ingtai matemu saling tresnanin ring niskala. Duk Ni Nyonyah sampun mamargi sajeroning upacara pawiwahan sareng I Bandar Macun, ring tengahing margi tedun ajebos ring kuburan I Babah Sampik raris sembahyang ring ajeng kuburan I Babah Sampik. Raris belah kuburan punika ngranjing Ni Nyonyah malih atep kuburan punika. Wawu kuburan punika keni kabongkar olih kulinnyane I Macun, Ni Nyonyah sareng I Babah Sampik nenten kakeniang, sakewanten wenten praciri kupu-kupu kalih makeber nyujur suargan.

Atman sang kalih rauh ring suargan malinggih ring meru tumpang selikur kaayahin olih watek widyadarine, rena manahnyane ring suargan.

Kaketus saking :
* Buku Pupulan Satua Bali
* Buku Kumuda Sari II

_Ayulita VierneufA_

Minggu, 26 Februari 2012

“Pesona Sang Bhuta Kala”


Ketika seseorang telah melakukan perbuatan negatif, maka saat itulah "raksasa" menguasai raga manusia..
Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern sekarang ini adalah berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan sesuatu yang negatif.
Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata Penyepian adalah untuk umat yang telah mengkhususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat tertentu.

Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini merupakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat. Ogoh-ogoh yang dibuat pada perayaan Nyepi ini merupakan perwujudan Bhuta Kala, yakni unsur alam yang terdiri dari air, api, cahaya, tanah, dan udara yang divisualkan dalam wujud yang menyeramkan, karena jika kekuatan alam itu berlebihan tentunya akan menjadi kekuatan yang merusak.
Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bambu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyarakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngerupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.
Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan keamanan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat sing malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai Agama Hindu. 
Ini adalah contoh beberapa ogoh-ogoh :

_Silvia VierneufA_

Bahasa Daerah, Semakin Hilang Tergerus Zaman

Sesuatu yang mulai menghilang ditelan arus zaman...
Bahasa merupakan identitas dari sebuah bangsa, bahasa juga dapat diartikan sebagai alat untuk berkomunikasi. Jadi fungsi bahasa sangatlah penting dalam kehidupan sehari-hari, adapun 2 bahasa yang kita kenal yaitu Bahasa Nasional (Bahasa Indonesia) dan Bahasa Daerah. Namun sangat disayangkan sebagian besar generasi muda mulai melupakan bahasa daerahnya yang merupakan bahasa ibu mereka, yang juga merupakan akar identitas diri.
Bahasa daerah pada zaman ini sudah tidak lagi dibanggakan di kalangan generasi saat ini khususnya remaja. Hal itu disebabkan karena adanya rasa gengsi, mereka malu bahkan tidak mau menggunakan bahasa daerahnya, dengan dalih dianggap “kampungan” dan tidak gaul.
Hal ini menyebabkan sedikit demi sedikit penggunaan bahasa daerah mulai terkikis bahkan hampir dilupakan sama sekali. Para remaja kini terkesan bangga menggunakan bahasa asing daripada bahasa daerahnya sendiri. Sangat ironis memang karena remaja kini lebih senang mempelajari bahasa asing ketimbang bahasa daerahnya sendiri.
Disini bukan dimaksudkan untuk melarang para remaja memperlajari bahasa asing, tapi sekiranya janganlah kita sebagai generasi melupakan bahasa daerah kita, alangkah baiknya jika keduanya bersinergi, hal tersebut juga dapat melestarikan budaya, bukan? _ayulita vierneufA_