Senin, 27 Februari 2012

GENGSI MENYANDANG IDENTITAS SEBAGAI ANAK BALI? APE PIKIR!




                Diluar sana, banyak orang yang berusaha untuk memiliki kebudayaan kita, bahkan ‘nyaris’ merampas identitas kita. Sementara  kita disini terlena dengan apa yang kita miliki, bertindak seolah-olah apa yang kita punya ini tak akan pernah lepas dari genggaman kita. Bagaimana mungkin orang bisa mengenal kita,  jika identitas yang kita miliki mulai ‘luntur’?

Di zaman globalisasi saat ini semua seakan-akan diseret masuk kedalamnya, tak peduli asal-usulnya, semua langsung masuk begitu saja. Sama halnya seperti Budaya Bali saat ini, siapa yang menyangka apa yang sudah dipertahankan nenek moyang kita dulu, dengan mudahnya kini diabaikan? Sebagai generasi penerus sudah sebaiknya kita mempertahankan apa yang kita miliki, tapi dalam kehidupan nyatanya malah generasi mudalah yang mengabaikan itu semua. Seperti kata pepatah, “Kakek yang membangun, Anak yang meneruskan, dan Cucu yang merusak”, sepertinya pepatah itu cocok untuk kita saat ini, remaja Bali. 
Sudah jarang dijumpai truna truni Bali yang masih memegang teguh tata karma, kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan pergaulan antar manusia di dalam kelompoknya, pemandangan yang saat ini kita jumpai adalah truna truni Bali yang urak-urakan, tidak memiliki sopan santun, terjerumus dalam lingkaran pergaulan bebas yang memuakkan. Bisa dihitung dengan jari Truna Truni Bali yang terampil, yang masih memiliki jiwa seni yang bisa menjadi aset untuk Bali kedepannya. Sisanya hanya bisa berfoya-foya dengan fasilitas yang diberikan dunia. Jika ada upacara Pawiwahan/pernikahan atau upacara-upacara Manusa Yadnya lainnya, jarang sekali kita mendapati Truna Truni Bali yang nguopin atau bergotong royong membantu para tetua kita mempersiapkan upacara tersebut, jadilah semuanya serba instan, manja, dan tak ada sama sekali rasa ingin tau. Ngayah atau ngayang Upacara Agama yang seharusnya menjadi tugas Truna Truni Bali, diambil alih oleh para tetua yang seharusnya hanya menjadi guru pembimbing kita. Lalu, apa saja yang dilakukan Remaja Bali kita? Dan yang paling parah dari semua itu, Truna Truni Bali saat ini sudah melupakan adat sopan santun dalam pergaulan terhadap orang-orang yang berbeda sex, mereka seakan manganggap itu “sah-sah saja” dilakukan. Mereka seperti krisis nilai dan identitas.
 Di satu sisi, ini bukanlah kesalahan zaman, karena kita juga tidak bisa benar-benar menolak globalisasi, tapi disisi lain, Truna Truni Bali juga mempunyai peran yang kuat dalam hal ini, jika saja mereka bisa selektif dalam menghadapi globalisasi ini, mungkin tidak akan terjerumus ke lubang hitam globalisasi, tapi satu hal yang paling penting adalah: Kita tak bisa memilih lahir pada waktu yang kita tentukan sendiri, karena kita lahir di tempat dan waktu ketika kita disuguhkan zaman serba canggih seperti sekarang ini. Sesuatu yang modern memang diperlukan tetapi kita tidak boleh menghilangkan nilai-nilai yang sudah berakar dalam kepribadian budaya kita, budaya Bali. Akhir kata, Ngiring sareng-sareng jaga lan lestariang, ngiring sareng-sareng, laksanayang Tri Hita Karana….
Diana_VierneufA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar